Begitu
banyak bintang di langit hanya satu yang paling bercahaya, begitu banyak wanita
yang cantik di dunia ini hanya kamu yang aku suka. Mungkin itulah perumpamaan
buat cintaku padanya, hanya saja tak pernah bisa aku ungkapkan padanya. Bukan
karena aku tak mampu tapi karena dia sudah memiliki seseorang yang bisa
membuatnya lebih baik dari pada dengan ku. Walaupun aku tahu dia belum jadian
dengan seseorang itu, namun hati ini menciut ketika mendengar dia bercerita
tenntangnya dan selalu ada senyum di wajahnya. Aku tak tega menghapus keindahan
dan kebahagiannya itu hanya karena keegoisan ku ini, karena dia juga adalah
sahabatku.
Ya, aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Entah
sejak kapan perasaan itu muncul, tapi semakin lama aku bersamanya benih – benih
cinta itu muncul. Apalagi ketika beberapa teman ku tahu bahwa aku menyukainya,
walaupun diantara kita menanggapinya hanya dengan lelucon tapi serus bagiku
yang telah jatuh hati padanya.
“Mengapa harus dia yang aku cinta, kenapa bukan orang
lain saja… arghhh…” Gumamku dalam hati. Sesak hati ini ketika memfikirkannya setiap
malam seakan membuatku gila sendiri, bingung dan pada akhirnya akupun tertidur
dalam lelah.
Di lorong kampus aku berjalan menuju kelas dan
berharap pagi ini tidak bertemu dengannya, tapi… “Pagi Sob… Semangat - semangat…
Eh, kamu kenapa pagi – pagi kok dah cemberut gitu sih? Ada masalah?... Cerita
donk Sob…” Tanya Lia padaku di kala hati ini sedang kalut karena
memfikirkannya.
“Eh… Iya… gak apa – apa kok Sob… Aku baik baik saja
kok, nih senyum…” Sambil menunjukkan senyum palsu padanya agar tidak membuatnya
khawatir dan karena aku tak ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya padanya. Walaupun batin ini menolak tapi apa daya takdir belum memihak pada ku.
“Nha gitu donk
sob… Yaudah yuk ke kelas…”. “Yuk..” Balasku dengan sedikit berat hati. Kamipun
menuju kelas bersama – sama.
Seperti biasa, ketika kami bersama pasti ada hal seru
yang terjadi. Walaupun terkadang hanya obrolan ringan yang terkadang tidak
jelas tapi bagiku itu seru karena Lia memang anak yang periang dan asik ketika
di ajak berbicara. Akupun melupakan sedikit kegundahanku karena senyumnya itu,
mungkin karena itu juga aku mulai ada rasa padanya.
Sempat dulu pernah ku nyatakan cintaku padanya, tapi
apa yang aku dapat? Nothing. Karena dia menganggapnya hanya bercanda, memang
sih kita sering bercanda tapi sebenarnya waktu itu aku sedang serius dan
akhirnya Lia dan aku pun mulai melupakan itu dan menjalani hari – hari seperti biasa.
Maka dari itu, untuk menyatakannya lagi itu terlalu berat buatku. Mungkin nanti
ketika waktu sudah berpihak ke padaku.
Layaknya daun yang berguguran di musim semi, di saat
semua daun benar – benar habis dari tangkainya maka akan diganti dengan tunas
daun yang baru. Ketika cintanya berakhir dengan yang di sana maka aku akan
mulai masuk kedalam hatinya, mungkin seperti itulah tapi kapan?. Tidak tahu,
biar waktu yang memutuskan semua itu.
“Dhan… ngapain kamu bengong gitu, di pojokan kelas
lagi? Lia mana? Biasanyakan sama kamu?...” Tanya Franky padaku, teman yang
selalu menjahiliku tapi dia selalu ada ketika aku butuh bantuannya, dan dia
juga yang tahu rahasiaku bahwa aku punya rasa pada Lia.
“Heh… Gak apa – apa Frank… Biasa meditasi… Hahahaha… ”
Seperti biasa senyum dan canda palsu ku tunjukkan padanya agar tidak ketahuan
kalau aku lagi kalut alias galau.
“Ah yang bener Dhan…?” Tanya Franky tidak percaya.
“Iya… Aku rapopo… Hahahaha…” Jawabku singkat.
“Ya sudahlah… Nanti sepulang ngampus ada acara gak?
Main yuk…?” Ajak Franky. “Gak ada kok… Ayo dah sip…” Jawabku cepat. Lumayan
buat sedikit refreshing dari masalah yang sedang menyelimutiku ini.
***
Siang berganti malam, malam berganti siang. Hari demi
haripun terlewati seperti biasa. Hari menjadi bulan dan bulanpun menjadi tahun,
hingga tak terasa kami sudah di wisudah dan bersiap untuk menjelajahi dunia pekerjaan.
Lia yang sudah jadian dengan seseorang yang pernah dia
ceritakan dulu, bahkan sudah berjalan dua tahun lebih, begitu juga teman –
temanku yang lainnya. Banyak yang telah berubah, tapi hanya satu yang tidak
berubah adalah persaanku kepadanya, Lia sahabatku.
“Yeee… Akhirnya kita lulus Sob…” Celoteh Lia dengan
senyum lebarnya dan tanpa sadar ternyata aku di pelukknya erat. Aku sudah
sering di peluknya, tapi hari itu pelukannya terasa sedikit berbeda dari yang biasanya.
Entah apa yang terasa berbeda, ku pikir itu hanya pelukan biasa tapi semakin
lama Lia memelukku dan aku mencoba untuk melepaskannya tapi Lia tidak mau untuk
melepasnya.
Beberapa saat ku mulai mendengar isak tangis di dekat
ku, ternyata Lia. “Lia… Lia… Kamu kenapa?...” Tanyaku bingung karena dia mulai
menangis tak tertahankan dalam pelukannya pada ku.
Tulang yang selalu menyanggah jiwa dan raga ini seakan
remuk tak beraturan ketika melihat sahabatku dan orang yang aku cintai hingga
saat ini walupun aku belum bisa mendapatkan hatinya. Ku yang tadinya ingin
melepas peluknya langsung ku urungkan dan mulai ikut memeluknya lagi.
Tanpa kata, aku mengerti apa yang terjadi. Dalam
diammu aku memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan dalam tangismu aku turut
merasakan apa yang kamu rasakan. Seakan jiwa ini menyatu dengannya. Pada
akhirnya Lia sedikit tenang dan aku pun mengajaknya jalan – jalan agar rasa
sedih itu tidak terus menyelimutinya.
Dalam perjalanan kami menuju taman bermain malam yang
berada di tengah kota Lia masih terlihat sedih hingga kita sampai disana dan
muali bermain di wahana – wahana yang di sediakan di sana Lia mulai bisa
kembali ke dirinya yang biasanya. Lia yang periang dan selalu asik saat di ajak
bicara. Walau mungkin ini hanya sementara setidaknya bisa mengurangi sedikit kesedihan
di hatinya.
Malam semakin larut, kami memutuskan untuk pulang. Di
tengah perjalanan pulang Lia menceritakan masalahnya dengan sendirinya tanpa
aku minta. Mungkin itu lebih baik dari pada aku yang harus bertanya padanya.
Ternyata, Lia putus dengan pacarnya yang dulu itu
karena si cowo ketahuan selingkuh di belakangnya. Sekali dua kali Lia masih
memaafkannya, tapi yang di lakukan cowo tersebut melakukannya lebih dari itu.
Lia yang dulu sangat mencintainya pada akhirnya putus asa dan lelah dengan
semua itu. Sakit di khianati berkali – kali, walaupun aku tak pernah merasak
hal yang seperti itu tapi aku tahu ketika melihat tangisan Lia tadi.
***
Beberapa hari kemudian, Lia terlihat menjadi dirinya
yang dulu sepenuhnya. Senyum indah yang selalu muncul dari wajah imutnya
membuat aku lemah karena bahagia. Entah apa itu yang penting Lia sudah baik
baik saja. Hari itu aku mengajaknya untuk keluar kesuatu tempat, camping… ya,
tapi bukan camping biasa, kami mendaki gunung hingga sampai puncaknya dan mulai
mendirikan tenda disitu. Bersama beberapa teman – teman ku dulu yang suka
mendaki gunung, mungkin ini akan menjadi hal yang berbeda dari yang sebelum –
sebelumnya dan ini pertama kalinya bagi Lia.
Kamipun sampai di puncak pas matahari terbenam, ini
menjadi pengalaman tersendiri bagi ku walaupun sedah pernah melihatnya
sebelumnya, tapi kini berbeda karena ada Lia disini.
“Wah… Indahnya… Keren Sob…” Kesan takjub dari Lia
karena ini pertama kali buat dia. Sampai dia meneteskan air mata karena melihat
keindahan dunia ini yang belum tentu bias di lihat oleh orang banyak. Melihat
sunset di atas puncak gunung.
Hingga malampun tiba, cuaca pada hari ini sangatlah
cerah sehingga kami bisa melihat banyak bintang di langit malam.”Indah kan?...”
Tanyaku pada Lia. “Iya sob…” Jawab Lia dengan senyum manis di wajahnya.
“Lia… Boleh aku ngomong sesuatu?... Tapi kamu jangan
tertawa ya…”…
“Yaelah sob ngomong aja kali…”…
“Yee… Serius nih…”…
“Iya iya Sob… Mau ngomong apa sih?...”…
“Begini Lia… Kamu tau begitu banyak bintang dilangit
mala mini, tapi ku melihat satu yang paling bercahaya…”…
“Wah… Mana sob yang paling bercahaya?...” Cetus Lia
penasaran.
“Em… Itu kamu Lia… Begitu banyak wanita cantik di
dunia ini, hanya kamu yang aku cinta… Lia… Mau kah kamu menjadi pendamping
hidup ku?...” Sambil duduk seperti pangeran yang sedang melamar sang putri.
Dimalam yang terang, di ketinggian yang tak biasa dan
udara dingin serta gesekan antara ilalang yang tertiup angin terasa ada yang
berbeda dari waktu sebelum - sebelumnya. Semua seakan menjadi sunyi senyap
ketika aku mendengar jawaban Lia.
“Aku mau menjadi pendamping hidupmu Dhan…” Sambil
meneteskan air mata haru kata – kata itu terucap. Sembari aku memasukkan cincin
yang sudah aku persiapkan dari kemarin di jari manisnya. Lia memelukku erat,
tapi yang ini berbeda lagi. Berbeda dari yang dulu disaat dia memelukku erat
ketika dia bersedih, kali ini dia seakan tersenyum lebar dan bahagia dalam
tangisnya.
Tak pernah terfikirkan olehku kalau Lia mau menerimaku,
padahal kemarin – kemarin aku selalu berfikir pesimis Lia akan menolakku setelah
apa yang terjadi dulu dengan mantanya. Aku sangat senang sampai tak bisa
berkata kata lagi ketika Lia menerimaku.
Malam itu... di puncak itu, sang bulan dan bintang menjadi saksi penyatuan cinta antara dua insan manusia antara aku dan Lia. Takkan pernah kami lupakan, hingga nanti sampai ajal yang memisahkan kita.
Created By : Si Bocah Lali Omah (Ramadhani Azhari)